Panduan Lengkap Puasa Bagi Ibu Hamil dan Menyusui
Panduan Lengkap puasa bagi ibu hamil dan menyusui |
Dalam postingan kali ini sengaja kami khususkan pembahasan detail mengenai hukum berpuasa bagi ibu hamil dan ibu menyusui.
Hal ini mengingat bahwa banyak sekali diantara kaum wanita terutama ibu-ibu yang belum memahami ilmu fiqihnya dengan benar.
Bahkan ada diantara ibu-ibu yang sedang hamil atau sedang menyusui lalu mereka tidak berpuasa dan tidak mau mengqadha’ puasanya. Mereka maunya hanya bayar fidyah saja.
Padahal yang seperti ini tidak boleh. Bahkan tidak ada ulama 4 madzhab yang membolehkan hanya dengan membayar fidyah saja. Rata rata para ulama pasti mengharuskan ada qadha puasanya juga.
Oleh sebab itu kami akan jelaskan bagaimana pendapat para ulama salaf mengenai hal ini. Yaitu hukum puasa bagi bumil (ibu hamil) dan busui (ibu menyusui).
A. Pandangan Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi bahwa ibu hamil dan menyusui itu seperti orang yang sakit. Apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka wajib mengqadha’ puasanya saja dan tidak perlu membayar fidyah.
Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid dan juga Abu Tsaur mendukung pendapat ini. Pendapat ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (al- Baqarah:184)
Imam As-Sarakhsi (w. 483 H) seorang ulama yang bermadzhab Hanafi menyebutkan sebagai berikut:
Ketika wanita hamil atau menyusui dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa, sebagaimana hadis nabi Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.Karena kesulitan yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa fidyah.21
Jadi intinya menurut madzhab hanafi bumil dan busui itu jika tidak puasa maka kewajibannya hanya qadha’ puasa saja tanpa membayar fidyah.
B. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki membedakan hukum bagi bumil dan busu. Jika bumil tidak puasa maka kewajibannya hanya qadha’ saja. Jika busu tidak puasa maka kewajibannya qadha dan membayar fidyah juga.
Imam Malik rahimahullah (w. 179 H) yang merupakan pendiri madzhab Maliki, beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Mudwwanah sebagai berikut:
Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewa ibu susuan bagi bayinya.
Tapi jika sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, dimana dia harus mengqadha dan membayar fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu satu mud untuk orang setiap orang miskin. Kemudian imam Malik menyebutkan: bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Kalau dia telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan.
Dalam kitab Al-Mudawanah ini juga dijelaskan kenapa antara wanita hamil dan menyusui dibedakan dalam hal membayar fidyah.
Hal tersebut karena wanita yang hamil dianggap sebagai wanita yang sakit, sedangkan wanita yang menyusui sebenarnya tidak lemah atau tidak sakit seperti wanita hamil.
Lalu kemudian kenapa fidyah diwajibkan atas busu, karena alasan meninggalkan puasa adalah karena kondisi bayi yang mengharuskan ibunya berbuka, bukan karena fisik ibu yang tidak kuat berpuasa. Padahal fisik ibu yang menyusui masih kuat.
Jadi intinya menurut madzhab maliki jika bumil tidak puasa maka kewajibannya hanya qadha’ saja. Jika busui tidak puasa maka kewajibannya qadha dan membayar fidyah juga.
C. Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’iy membedakan hukumnya tergantung dari sisi kenapa bumil dan busui itu tidak berpuasa. Apakah sebab khawatir terhadap dirinya atau khawatir terhadap bayinya.
Di dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’ (w. 593 H) disebutkan bahwa yang termasuk orang yang boleh tidak puasa adalah BUMIL (ibu hamil) & BUSUI (ibu menyusui).
Bumil dan busui jika khawatir terhadap dirinya maka wajib qadha’ puasa saja tanpa fidyah. Namun jika khawatir terhadap bayinya saja maka wajib qadha dan wajib fidyah. Yaitu 1 mud setiap harinya.
Jadi ketentuannya adalah jika bumil dan busu tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya saja maka kewajibannya hanya qadha puasa saja.
Jika bumil dan busui tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka kewajibannya hanya qadha puasa saja.
Namun jika bumil dan busui dia kuat untuk puasa namun sengaja tidak puasa karena sebab khawatir terhadap bayinya maka kewajibannya adalah qadha puasa dan bayar fidyah.
Imam an-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’iy juga mengatakan hal yang sama:
Telah kami sebutkan bahwa bumil dan busu jika khawatir terhadap dirinya saja atau khawatir terhadap dirinya dan bayinya maka wajib qadha’ puasa saja tanpa fidyah. Namun jika khawatir terhadap bayinya saja maka wajib qadha dan wajib fidyah menurut pendapat yang shahih.
D. Madzhab Hanbali
Pendapat madzhab Hanbali sebetulnya sama persis seperti pendapat madzhab syafi’iy. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (w. 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan sebagai berikut:
Bagi wanita hamil ketika mengkhawatirkan kondisi janinnya, ataupun wanita menyusui yang mengkhawatirkan kondisi bayinya, jika tidak berpuasa, wajib mengqadha dan membayar fidyah untuk orang miskin dari setiap hari yang ditinggalkan. Secara umum wanita hamil dan menyusui kalau keduanya mengkhawatirkan kondisi diri mereka, maka bagi keduanya boleh tidak puasa, dan cukup bagi keduanya mengqadhanya saja. Hal ini tidak ada perbedaan diantara para ulama sebab mereka dianggap seperti orang sakit. Namun jika khawatir terhadap anaknya saja maka bagi mereka wajib qadha’ dan membayar fidyah 1 mud setiap harinya kepada orang miskin.
Intinya madzhab hanbali mengatakan jika bumil dan busu tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya saja maka kewajibannya hanya qadha puasa saja.
Jika bumil dan busu tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka kewajibannya hanya qadha puasa saja.
Namun jika bumil dan busu tidak puasanya karena sebab khawatir bayinya saja maka kewajibannya qadha puasa dan bayar fidyah.
E. Madzhab Fidyah Saja
Nah, Jika kita perhatikan pendapat ulama 4 madzhab yang sudah kita sebutkan di atas maka rata rata seluruh ulama sepakat harus ada qadha’nya. Khilafiyahnya adalah seputar ada tambahan bayar fidyah atau tidak.
Jadi tidak ada satupun ulama salaf dari kalangan ulama 4 madzhab yang membolehkan bumil dan busu hanya membayar fidyah saja tanpa mengqadha puasa.
Bahkan Syaikh Bin Baaz rahimahullah (w. 1420 H) juga mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui harus tetap mengqadha puasanya jika mereka tidak berpuasa.
Beliau juga mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan ibu hamil dan menyusui cukup membayar fidyah saja itu adalah pendapat yang marjuh, lemah dan menyelisihi sunnah.
Fatwa beliau ini bisa kita baca dalam kitab beliau yang berjudul Majmu’ Fatawa Ibn Baaz sebagai berikut:
Pendapat yang benar adalah ibu hamil dan menyusui wajib mengqadha’ puasanya. Adapun riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ibu hamil dan menyusui cukup membayar fidyah saja adalah pendapat yang lemah sebab menyelisihi dalil-dalil syar’i. Allah SWT berfirman: “Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan lalu tidak berpuasa maka wajib menggantinya di hari lain”. Maka ibu hamil dan menyusui itu disamakan dengan orang yang sakit bukan disamakan dengan orang tua renta. Maka hukumnya sama seperti orang sakit yang wajib qadha’ puasa.27
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah (w. 1421 H) juga mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui harus tetap mengqadha puasanya jika mereka tidak berpuasa.
Fatwa beliau ini ada di dalam kitab Majmu’ Fatawa
Apa yang telah kusebutkan bahwa ibu hamil dan menyusui wajib mengqadha’ puasanya dan membayar fidyah. Dan menurutku dalam hal ini saya berpandangan bahwa ibu hamil dan menyusui itu hanya wajib mengqadha’ puasanya saja tanpa membayar fidyah.
Orang Yang Boleh Tidak Puasa
Dalam bab ini kami tambahkan penjelasan mengenai siapa saja sebenarnya yang boleh tidak puasa selain ibu hamil dan ibu menyusui.
Ketika bulan ramadhan tiba maka diwajibkan bagi kita untuk berpuasa. Hal ini jika memang sudah terpenuhi syarat dan ketentuannya.
Namun ada beberapa orang yang ketika ramadhan tiba dia malah boleh tidak puasa.
Siapa saja mereka yang boleh tidak puasa adalah sebagai berikut:
A. Orang Yang Sakit
Orang yang sakit sampai tidak kuat untuk berpuasa maka dia boleh tidak puasa. Akan tetapi jika dia sembuh setelah ramadhan maka wajib mengqadha puasanya.
Dalil yang mendasari kebolehan orang yang sakit untuk tidak berpuasa adalah ayat berikut ini :
Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan lalu tidak berpuasa maka wajib menggantinya di hari lain. (QS Al-Baqarah: 185) . Namun jika sakitnya tidak kunjung sembuh juga dalam artian sakit setiap hari yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya maka kewajibannya hanya membayar fidyah saja.
Membayar fidyah yaitu memberi makan faqir miskin sebanyak 1 mud sesuai hitungan hari puasa yang ditinggalkannya. Jika tidak puasa 30 hari maka harus memberi makan 30 orang.
Adapun takaran 1 mud kurang lebih adalah seperempat dari takaran zakat fitrah. Dilebihkan tentu ini lebih afdhal. Wallahu a’lam.
Lalu bagaimana jika seseorang meninggal dunia padahal masih punya hutang puasa dan belum sempat ditunaikan.
Maka menurut madzhab syafi’iy keluarganya boleh berpuasa untuknya. Atau membayarkan fidyah untuknya. Dua hal ini boleh dipilih salah satunya. Namun menurut Imam an-Nawawi afdhalnya adalah keluarganya berpuasa saja untuknya sebanyak bilangan hari yang ditinggalkan. Wallahu a’lam.
B. Musafir
Begitu juga jika dalam keadaan musafir maka dia boleh tidak puasa namun afdhalnya tetap puasa jika kuat puasa.
Untuk batasan safarnya adalah safar yang melebihi jarak 89 KM (jarak bolehnya qashar) dan safarnya bukan safar maksiat. Dan juga memulai safarnya sebelum terbit fajar.
Orang yang seperti ini boleh tidak puasa akan tetapi punya kewajiban untuk mengqadha puasanya di bulan lain.
Dalil yang mendasari kebolehan orang yang musafir untuk tidak berpuasa adalah ayat berikut ini:
Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan lalu tidak berpuasa maka wajib menggantinya di hari lain. (QS Al-Baqarah: 185)
C. Orang Yang Tidak Mampu
Orang yang tidak mampu berpuasa seperti orang tua renta dan orang sakit yang tidak sembuh sembuh seumur hidup maka boleh tidak puasa.
Kewajibannya hanya membayar fidyah (makanan pokok) saja sebesar 1 mud atau seperempat dari ketentuan zakat fitrah.
Dasar ketentuan ini adalah firman Allah SWT di dalam Al-Quran :
“Dan bagi orang yang tidak kuat/mampu, wajib bagi mereka membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin.” (QS Al-Baqarah)
Para ulama telah sepakat bahwa yang termasuk ke dalam kriteria tidak mampu berpuasa adalah orang- orang yang sudah lanjut usia atau sudah udzur, dan juga orang yang sakit dan tidak sembuh-sembuh dari penyakitnya.
D. Ibu Hamil & Menyusui
Sudah kita sebutkan khilafiyah ulama mengenai masalah ini pada bab 8. Pada intinya para ulama sepakat tetap mewajibkan adanya qadha puasa bagi ibu hamil dan ibu menyusui. Khilafiyahnya adalah seputar masalah membayar fidyah.
Untuk madzhab syafi’iy sendiri yaitu madzhab yang kita yakini di indonesia ketentuannya adalah jika bumil dan busu tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya saja maka kewajibannya hanya qadha puasa saja.
Jika bumil dan busu tidak puasanya karena sebab khawatir kepada dirinya dan bayinya sekaligus maka kewajibannya juga hanya qadha puasa saja.
Namun jika bumil dan busu dia kuat untuk puasa namun sengaja tidak puasa karena sebab khawatir terhadap bayinya maka kewajibannya adalah qadha puasa dan bayar fidyah.
E. Orang Dalam Keadaan Darurat
Diantara golongan orang yang boleh untuk tidak berpuasa di bulan ramadhan adalah orang yang berada dalam situasi darurat. Dimana mereka mau tidak mau harus membatalkan puasanya pada saat situasi yang benar benar sangat darurat.
Namun perlu diketahui juga bahwa orang yang sebab alasan darurat ini jika terpaksa harus membatalkan puasa, maka dia punya kewajiban untuk mengganti puasanya tersebut di luar bulan ramadhan.
Contoh darurat misalnya adalah orang yang tiba- tiba merasakan haus atau lapar yang sangat menyiksa dirinya. Jika dia melanjutkan puasanya maka kemungkinan besar dia akan sakit atau bahkan meninggal dunia.
Maka di zaman virus corona sekarang ini jika para dokter dan perawat yang menggunakan APD benar benar mengkhawatirkan fisiknya yang semakin lemah atau tidak kuat berpuasa lantaran harus merawat pasien covid 19 seharian, maka diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa.
Contoh lainnya adalah mereka yang dipaksa makan atau minum, dan kalau mereka tidak melakukannya, besar kemungkinan mereka akan dibunuh.
Maka dalam kondisi darurat seperti ini, dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa. Namun dengan konsekuensi wajib mengqadha puasanya tersebut di luar bulan ramadhan juga. Wallahu a’lam.
Permasalahan Seputar Puasa
Ada beberapa hal yang sering ditanyakan oleh para jamaah atau masyarakat kita ketika membahas mengenai fiqih puasa.
Pertanyaan ini biasanya sering terulang-ulang kembali setiap tahunnya. Maka kami kumpulkan pertanyaan tersebut agar lebih mudah untuk dipelajari.
Setidaknya ada 4 hal yang penting dan sering dipertanyakan seputar masalah puasa:
A. Haruskah Ramadhan Ikut Negara Lain
Setiap datang bulan ramadhan apakah kita harus mengikuti patokan negara sendiri atau boleh ikut negara lain. Menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali wajib mengikuti negara yang dipercaya sudah melihat hilal. Namun menurut madzhab Syafiiy tidak wajib mengikuti negara lain. Sebab setiap tempat memiliki ketentuan hilal masing-masing.
B. Apakah Berbekam Membatalkan Puasa
Ketika kita siang hari di bulan ramadhan ingin berbekam apakah puasa kita batal? Menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’iy puasanya tidak batal. Sementara menurut madzhab Hanbali puasanya batal. Bahkan yang membekam dan yang dibekam keduannya batal puasanya.
C. Belum Qadha Sudah Ketemu Ramadhan Lagi
Orang yang punya hutang puasa namun tidak segera dibayarkan puasanya hingga bertemu dengan bulan ramadhan lagi. Bagaimana hukumnya padahal tidak ada udzur baginya untuk tidak mengqadha’ puasa. Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali tetap wajib qadha puasa dan wajib membayar fidyah. Namun menurut madzhab Hanafi kewajibannya hanya qadha saja. Tidak perlu membayar fidyah.
D. Meninggal Dunia Tapi Masih Ada Hutang Puasa
Orang yang punya hutang puasa namun tidak segera dibayarkan puasanya hingga meninggal dunia. Bagaimana hukumnya padahal tidak ada udzur baginya untuk tidak mengqadha’ puasa.
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali kewajibannya membayar fidyah saja. Jadi keluarganya membayarkan fidyah sebagai ganti puasa yang ditinggalkan almarhum.
Menurut madzhab Maliki tidak perlu bayar fidyah dan keluarganya tidak perlu berpuasa untuknya kecuali sebelum meninggal almarhum sempat berwasiat untuk hal itu maka boleh.
Menurut madzhab Syafi’iy sebagaimana yang dirajihkan oleh Imam an-Nawawi adalah keluarganya berpuasa untuknya sebanyak hari yang ditinggalkan oleh almarhum. Namun ulama syafiiyah lainnya mengatakan keluarganya membayarkan fidyah saja.
E. Musafir Lebih Baik Puasa Atau Tidak?
Musafir yang sudah memenuhi syarat diperbolehkan untuk tidak puasa maka boleh baginya untuk tidak berpuasa.
Namun yang jadi pertanyaan adalah lebih afdhal mana anatara tidak puasa atau tetap puasa.
Imam an-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’iy mengatakan sebagai berikut: Bagi musafir boleh puasa dan boleh tidak puasa. Adapun yang paling afdhal baginya menurut Imam Syafi’iy dan ulama syafiiyah adalah jika khawatir dirinya tertimpa kemadharatan maka paling afdhal adalah tidak berpuasa. Namun jika tidak ada yang membahayakan dirinya dan fisiknya kuat maka lebih afdhal baginya tetap berpuasa.
Post a Comment for "Panduan Lengkap Puasa Bagi Ibu Hamil dan Menyusui"