Kisah Anjar Tri Laksono Mendapatkan Beasiswa S3 Stipendium Hungaricum
Saya Anjar Tri Laksono, biasa dipanggil dengan Anjar. Saya adalah dosen di Jurusan Teknik Geologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Saat ini saya menjadi mahasiswa S3 di Jurusan Department of Earth Science, University of Pecs, Hongaria.
Kebetulan pada saat saya menulis artikel ini, status saya masih menjadi mahasiswa tahun pertama di kampus tertua seantero Hongaria. Akan tetapi dalam kesempatan ini, saya akan menyajikan bagaimana perjuangan saya hingga sampai di Hongaria, apa saja yang perlu disiapkan untuk mendapatkan beasiswa, proses keberangkatan, suasana pertama kali kuliah, hingga kehidupan mahasiswa di luar kampus. Sebelum membahas bagaimana perjuangan, tips dan trik untuk dapat kuliah S3 di Hongaria, alangkah lebih baiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang negara Hongaria.
Hongaria, Negara dengan Perkembangan Ekonomi Paling Pesat di Uni Eropa
Bagi sebagian orang, negara Hongaria masih terdengar asing. Banyak yang masih tidak tahu letak negara ini. Padahal negara ini salah satu negara dengan perkembangan ekonomi paling pesat di Uni Eropa selain Polandia, Slovenia, dan Kroasia. Bahkan pendapatan perkapita negara ini mencapai $15.373 atau hampir empat kali lipat pendapatan per kapita Indonesia (Burlea-Schiopoiu et al., 2021; Gelányi et al., 2020; Kaló et al., 2013).
Karena jarang terdengar, maka jarang sekali pelajar Indonesia yang memasukkan negara ini sebagai daftar tujuan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Kebanyakan para pelajar Indonesia yang akan melanjutkan studi S1, S2, dan S3 di Eropa akan memilih negara-negara maju di eropa barat, tengah, maupun utara seperti Britania Raya, Perancis, Belanda, Jerman, Swiss, Swedia, dan Norwegia. Padahal negara Hongaria merupakan tempat kelahiran para ilmuan-ilmuan terkenal yang meraih nobel diberbagai bidang.
Sebut saja Pal Erdos yang merupakan peraih nobel matematika dan terkenal karena telah menerbitkan buku lebih dari 40 bahasa (Mester, 2016; Petrova & Konovalova, 2020). Selain itu, ada John von Neumann seorang perintis komputer digital, Janos Bolyai matematikawan yang menemukan geometri non-Euclides, Franz Liszt seorang komponis romantik yang paling terkemuka bahkan patungnya menjadi destinasi wisata terkenal di Kota Pecs.
Pendidikan tinggi di Hongaria merupakan salah satu yang terbaik di Eropa, tentu saja hal ini dibuktikan dengan banyaknya ilmuan peraih nobel yang juga lahir dan besar di negara ini. Kualitas pendidikan tinggi di seluruh negara ini sangatlah setara, hal ini karena kurikulum yang digunakan pun telah mengacu pada kurikulum standar pendidikan tinggi di Uni Eropa.
Para staf akademiknyapun alumni dari berbagai kampus terkenal di Eropa maupun Amerika. Fasilitas yang disediakan oleh perguruan tinggi di seluruh negara hampir sama karena mereka memiliki standar khusus dengan tujuan menghindari jurang kualitas antar institusi pendidikan tinggi. Beberapa perguruan tinggi terbaik di Hongaria yang menjadi destinasi favorit pelajar internasional adalah Eötvös Loránd University, University of Pécs, University of Debrecen, University of Szeged, dan Corvinus University of Budapest.
Dari tahun ke tahun jumlah pelajar internasional di Hongaria semakin meningkat. Hal ini karena pemerintah Hongaria melalui lembaga Tempus Foundation seperti LPDP-nya Indonesia membuka skema beasiswa baru untuk para pelajar internasional yang akan melanjutkan pendidikan S1 di negara ini. Sebelumnya, Tempus Foundation melalui program beasiswa yang dinamakan Stipendium Hungaricum telah memberikan beasiswa kepada pelajar internasional untuk studi bahasa Hongaria, magister, dan doktor di berbagai perguruan tinggi Hongaria yang menjadi mitra Tempus Foundation.
Mungkin kedepannya akan ada skema baru untuk Pos-Doktoral karena dengan semakin meningkatnya pelajar internasional maka aktivitas riset dan kegiatan akademik lainnya akan semakin meningkat. Hal ini tentu saja dapat menaikkan kualitas dan ranking perguruan tinggi Hongaria menjadi sejajar dengan perguruan tinggi ternama di negara-negara maju Eropa. Beasiswa Stipendium Hungaricum biasanya dibuka mulai akhir Oktober hingga awal Januari setiap tahunnya. Untuk jumlah pelajar Indonesia di semua jenjang pendidikan yang diterima beasiswa ini setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2021, jumlah penerima beasiswa ini dari Indonesia mencapai kurang lebih 90 orang, padahal di tahun sebelumnya hanya sekitar 60-an hingga 70-an orang. Tentu saja hal ini semakin meningkatkan peluang orang Indonesia untuk dapat belajar di Hongaria.
Perjalanan Meraih Mimpi
Perjalanan saya hingga tiba di Hongaria sangatlah berliku dan panjang. Saya mengetahui info beasiswa ini dari telegram. Saat itu, seperti biasa saya mengecek informasi beasiswa di telegram yang menurut saya topik riset yang ditawarkan sesuai dengan bidang keahlian saya. Kebiasaan ini rutin dilakukan setiap harinya disela- sela sibuk mengajar, melakukan penelitian, kegiatan pengabdian masyarakat, hingga kepanitiaan di kampus.
Saat itu saya melihat ada dua jenis beasiswa yang sangat cocok dengan topik riset saya dan persyaratannya pun relatif tidak rumit. Kedua jenis beasiswa tersebut adalah Taiwan International Graduate Program (TIGP) dan Stipendium Hungaricum. Setelah membaca semua informasi secara detail akhirnya saya mulai mempersiapkan berkas untuk mendaftar kedua beasiswa tersebut. Saya berpikiran tidak ada salahnya mencoba kedua-duanya lagi pula jika kita mencoba setiap kesempatan yang ada pasti peluang kita untuk mendapatkan beasiswa semakin besar.
Kita jangan terlalu banyak berharap pada satu kesempatan, karena yang paling terpenting adalah kita berhasil mencapai tujuan yaitu menempuh pendidikan tinggi di luar negeri tanpa memberatkan keuangan keluarga. Seperti pada umumnya, saya mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran seperti scan Ijazah, transkrip nilai, sertifikat TOEFL/IELTS, motivation letter, research proposal, dan CV sesuai standar Eropa.
Untuk CV sesuai standar Eropa, kita bisa menggunakan template seperti yang tersedia di website Europass. Pertama-tama teman-teman dapat membuat akun di website tersebut setelah itu langsung menuju menu pembuatan CV. Uniknya, website tersebut telah menyediakan template termasuk informasi apa saja yang biasanya tercantum pada CV sehingga kita hanya mengisi sesuai dengan jenis pertanyaannya. Setelah mengisi semua kolom, kita dapat langsung mengunduh dan menyimpan CV tersebut supaya tetap tersedia di website. Hal ini sangat berguna ketika kita ingin meng-upgrade informasi, kita hanya mengedit draft CV yang pernah kita buat sebelumnya tanpa membuat lagi dari awal.
Untuk pembuatan riset proposal, saya berkonsultasi dengan teman dosen satu jurusan dan teman jurusan lain yang kebetulan baru saja lulus dari Jerman. Saya berusaha sesering mungkin mengikuti webinar dan pelatihan online cara membuat riset proposal yang baik supaya tembus beasiswa ke Eropa. Di Eropa sendiri standar riset proposal yang baik terletak pada kejelasan tujuan penelitian, dasar teori yang kuat, runtut, dan menyertakan teori terbaru terkait topik penelitian. Metode penelitian yang detail dan novelty (baru) akan didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan merupakan poin penting lainnya dan sangat menentukan dalam mendapatkan supervisor. Ketika kita telah mendapatkan supervisor, maka peluang diterima di kampus tersebut dan mendapatkan beasiswa akan jauh lebih besar.
Setiap hari ditengah kesibukan saya sebagai dosen, saya sempatkan untuk membaca paper minimal dua jam setiap harinya. Biasanya saya lakukan di pagi hari antara pukul 08.00-10.00 WIB begitu sampai kampus. Setiap saya membaca artikel penelitian, saya selalu memberi tanda khusus pada informasi yang penting sehingga ketika lupa akan lebih mudah untuk mencarinya. Tidak lupa saya membuat rangkuman masing-masing artikel penelitian dalam bentuk PPT. Rangkuman ini sekaligus dijadikan materi pembelajaran untuk mahasiswa S1 di mata kuliah yang saya ajar.
Kebetulan mata kuliah dan topik riset saya terkait erat dengan kebencanaan di lingkungan laut seperti badai, gempa, dan tsunami. Saya tertarik dengan topik ini berawal dari tragedi tsunami di Aceh tahun 2004 yang menewaskan ratusan ribu orang dan bahkan mengubah bentuk daratan Kota Banda Aceh menjadi lebih sempit. Hal ini karena beberapa bagian daratan tersebut hilang dan tenggelam menjadi laut.
Oleh sebab itu, saya memiliki tekad agar pengelolaan pesisir di Indonesia di waktu mendatang didasarkan pada ancaman bencana yang ada. Hal ini penting untuk menghindari korban jiwa maupun kerugian materi yang jauh lebih besar. Dengan membca paper setiap hari wawasan kita menjadi lebih luas, dan kita akan berpikir bahwa ternyata perkembangan ilmu itu ibarat komik yang berseri.
Ketika kita melewatkan satu seri saja, maka kita akan susah memahami kelanjutannya. Selain itu membaca paper berbahasa Inggris juga akan meningkatkan penguasaan kosa kata bahasa Inggris kita sekaligus belajar untuk tes reading TOEFL atau IELTS yang biasanya akan memunculkan kata-kata yang kurang dikenal dalam percakapan sehari-hari tapi sering digunakan dalam penulisan artikel ilmiah atau berita. Bahkan kita menjadi lebih paham bagaimana cara menulis laporan penelitian yang baik termasuk penulisan kalimat bahasa Inggris dengan grammar yang tepat. Jadi, dengan membaca paper kita mendapatkan banyak manfaat yaitu pengetahuan keilmuan kita bertambah, penguasaan kosa kata bahasa Inggris meningkat, kemampuan membaca dan menulis kitapun jauh lebih baik.
Dengan semakin banyak membaca paper maka kita akan tahu perkembangan terakhir dari topik penelitian kita termasuk masalah yang belum terpecahkan dan dapat dijadikan bahan untuk riset S3 kita. Sambil menyiapkan riset proposal, saya mengambil tes TOEFL ITP yang memang sebagai syarat utama ketika kita ingin belajar ke luar negeri. Setelah syarat TOEFL ITP terpenuhi dan proposal riset telah siap maka saya langsung menghubungi profesor di kampus tujuan yang memang menjadi mitra dari Tempus Foundation melalui beasiswa Stipendium Hungaricum.
Ketika itu saya menghubungi dua profesor di dua kampus yang berbeda. Profesor pertama yang saya hubungi dan kebetulan menjadi tujuan pertama kampus penulis adalah seorang ahli geokronologi dari Department of Geology and Meteorology, University of Pecs. Tanpa basa-basi saya langsung menghubungi beliau melalui email yang berisi ketertarikan saya untuk menjadi mahasiswa beliau karena topik riset yang sedang dikerjakan oleh beliau kebetulan cocok dengan topik yang akan saya lakukan.
Tiga kali saling berkirim pesan, beliau langsung memberikan statement of letter yang merupakan dokumen penting untuk mendaftar beasiswa Stipendium Hungaricum. Jadi statement of letter (SoL) ini berbeda dengan Letter of Acceptance (LoA). Pada SoL hanya dijelaskan bahwa calon mahasiswa telah melakukan komunikasi dengan profesor tersebut dan bersedia menjadi supervisor jika diterima. Mendapat lampu hijau dari salah satu profesor, saya merasa sangat bersyukur karena ini merupakan peluang untuk mendapatkan beasiswa di Hongaria.
Dalam waktu yang bersamaan, saya juga menghubungi profesor dalam bidang geologi yang ada di University of Szeged, tapi kali ini tanggapannya berbeda dimana topik riset saya tidak sesuai dengan topik riset beliau. Dengan sangat sedih, saya harus menerima kenyataan hanya satu kampus yang menjadi harapan untuk bisa mendapatkan beasiswa ini. Hingga akhir pendaftaran, saya akhirnya hanya mengajukan satu nama kampus tujuan di aplikasi beasiswa Stipendium Hungaricum.
Setelah memodifikasi beberapa bagian pada motivation letter dan proposal riset, saya mendaftar beasiswa Taiwan (TIGP). Syarat yang tercantum pada beasiswa ini tak jauh berbeda. Hanya saja saya kurang teliti dalam melakukan pendaftaran beasiswa ini. Dimana syarat terpentingnya adalah kita harus mendapatkan rekomendasi dari salah satu profesor yang ada di kampus Taiwan.
Ketika itu hanya ada ada pilihan untuk jurusan Geologi, yaitu NCU (National Central University) yang berkolaborasi dengan Academia Sinica dan NTU (National Taiwan University) yang juga berafiliasi dengan Academia Sinica. Academia Sinica adalah lembaga riset negara Taiwan yang kalau di Indonesia disebut dengan LIPI. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga terdepan negara Taiwan dalam melakukan riset. Kesadaran saya bahwa dalam pendaftaran beasiswa ini kita harus sudah memiliki calon profesor ketika pendaftaran telah ditutup. Karena hal itu pula saya mendapatkan informasi melalui aplikasi dan email yang menerangkan bahwa aplikasi saya ditolak. Beasiswa ini adalah yang paling prestisius di Taiwan karena jumlah pendanaannya yang mencapai NTD 33.000/bulan (1 NTD = Rp. 500).
Gagal mendapatkan beasiswa TIGP dan belum adanya informasi mengenai hasil beasiswa Stipendium Hungaricum membuat saya merasa cemas. Sambil browsing di internet, saya melihat ada pembukaan beasiswa Turki Burslari. Tanpa berpikir panjang, saya mendaftar beasiswa ini melalui aplikasi yang telah disediakan dengan menggunakan berkas yang sama seperti saat mendaftar beasiswa Stipendium Hungaricum dan TIGP. Dalam mendaftar beasiswa ini saya juga tidak melakukan kontak dengan profesor manapun yang ada di Turki.
Tiga bulan sejak mendaftar beasiswa Hongaria, saya mendapatkan informasi melalui email dan aplikasi yang menyatakan bahwa hasil seleksi sending partner dalam hal ini adalah DIKTI, aplikasi saya diterima dan masuk pada tahapan berikutnya yaitu seleksi wawancara oleh Profesor yang ada di kampus tujuan. Saya mendapat jadwal wawancara seminggu setelah pengumuman nominasi calon penerima beasiswa.
Saya langsung mempersiapkan diri terutama terhadap penguasaan materi proposal riset penulis. Saat itu, saya yakin bahwa wawancara yang akan diadakan nanti akan lebih banyak berdiskusi persoalan teknis. Hari wawancara tiba. Wawancara diadakan sore hari jam empat Waktu Indonesia Barat. Mengingat ada selisih waktu lima jam antara Hongaria dan Indonesia barat saat musim panas. Wawancara diawali dengan perkenalan dari para pewawancara. Ada dua pewawancara, yakni profesor dan asisten riset dari laboratorium yang bersangkutan.
Selain itu, wawancara juga dihadiri perwakilan dari Tempus Foundation dan pejabat University of Pecs. Setelah perkenalan diri dari pewawancara, giliran saya yang dipersilakan untuk memperkenalkan diri. Saat itu, saya merasa tegang karena takut salah berbicara.
Tapi semakin lama, rasa tegang itu hilang berubah menjadi bingung. Ketika asisten riset mulai menanyakan hal-hal teknis, saya bingung tapi tetap berusaha untuk menjawab semampunya. Karena menurut saya lebih baik kita bicara sesuai yang kita tahu dari pada tidak menjawab sama sekali dan memilih diam.
Saya ditanyai mengenai kesiapan data untuk keperluan riset, metode yang akan dilakukan, kemampuan mengoperasikan beberapa software seperti ArcGIS, Matlab, Python, dan software-software lain yang saya kuasai. Mereka juga bertanya mengenai proses analisis data dan cara menjawab tujuan riset berdasarkan hasil analisis. Pertanyaan terakhir berisi mengenai apa yang akan saya lakukan jika tidak mendapatkan beasiswa.
Apakah akan tetap lanjut untuk kuliah di sana atau tidak. Saya menjawab bahwa tanpa beasiswa, saya tidak mampu untuk melanjutkan sekolah di sana karena keterbatasan biaya. Akhir dari wawancara adalah mohon kesediaan saya untuk menerima hasil seleksi dalam jangka waktu satu minggu. Wawancara berlangsung sekitar 45 menit tapi tidak begitu terasa lama karena ternyata semua berjalan dengan sangat akrab dan tidak tegang jika dibandingkan dengan ujian skripsi.
Hanya selang dua hari setelah wawancara, saya kembali mendapatkan informasi bahwa saya dinyatakan lolos seleksi wawancara dan berhak untuk masuk ke tahapan akhir, yaitu seleksi berkas oleh Tempus Foundation selaku pemberi beasiswa. Tetapi ada yang membuat saya merasa khawatir, karena saat itu saya diwajibkan untuk menyertakan surat hasil cek kesehatan yang persyaratannya sangat lengkap mencakup cek darah, cek HIV, cek Covid-19, bahkan sampai harus melakukan vaksinasi yang jumlahnya mencapai 4 macam yaitu vaksin MMR, vaksin Covid-19, vaksin typhosa, dan vaksin DDT.
Saat itu saya dibuat sangat pusing karena ternyata di rumah sakit dan klinik sekitar Purwokerto dan Purbalingga tidak tersedia vaksin MMR, Covid-19, dan DDT. Untuk vaksin typhosa hanya ada satu klinik swasta yang menyediakan tetapi harus melakukan pemesanan terlebih dahulu. Setelah melakukan pemesanan, vaksin akan tiba dalam waktu seminggu. Sehingga dipastikan saya harus rela menunggu satu minggu.
Padahal waktu yang dibutuhkan untuk menyerahkan dokumen tersebut adalah sekitar dua bulan dan dapat diperpanjang jika saya membuat surat keterangan yang menyatakan alasan mengapa ada poin yang belum terpenuhi.
Ketika deadline pertama tiba, saya membuat surat keterangan yang menyatakan bahwa hanya ada satu vaksin yang baru saya penuhi karena keterbatasan pelayanan kesehatan akibat pandemi Covid-19, tidak tersedianya vaksin, dan saran dari dokter agar tidak melakukan lebih dari satu kali vaksin dalam kurun waktu satu bulan. Atas kebaikan dan kasih Tuhan, Tempus Foundation menyatakan tidak keberatannya dan memberikan kesempatan kepada saya untuk memenuhi semua persyaratan sebelum deadline ke-2 yang waktunya sebulan setelah deadline pertama.
Oleh karena itu, saya sangat menyarankan kepada calon penerima beasiswa untuk mengecek terlebih dahulu apakah rumah sakit dan klinik yang ada di sekitar tempat tinggal menyediakan empat macam vaksin tersebut atau tidak. Selain itu juga perlu dicek mengenai harga per vaksin. Karena empat vaksinasi yang saya lakukan biayanya mencapai 2 juta rupiah.
Jika ditambahkan dengan biaya pemeriksaan lainnya maka pengeluaran untuk memenuhi persyaratan cek kesehatan ini hampir 4 juta rupiah. Menjelang deadline ke-2, saya berhasil menyelesaikan semua poin yang dibutuhkan dalam dokumen cek kesehatan dengan menyertakan tanda tangan dokter dan menerjemahkan seluruh dokumen tersebut.
Bila ditotal dengan biaya penerjemahan, maka pengeluaran saya mencapai 4,5 juta rupiah. Biaya yang cukup besar bagi saya dengan gaji dosen yang sangat kecil. Setelah itu, penulis harus menunggu sekitar satu bulan untuk mengetahui hasil akhir dari seluruh tahapan seleksi beasiswa yang telah saya jalani. Sambil harap-harap cemas, saya tidak lupa selalu berdoa agar diberikan yang terbaik untuk melanjutkan studi S3 di luar negeri.
Saat saya sedang menonton TV pada malam hari, saya mendapatkan email yang menyatakan bahwa saya dinyatakan sebagai salah satu penerima beasiswa Stipendium Hungaricum tahun 2021 dan diwajibkan untuk segera mengurus persyaratan visa.
Tiga hari setelah pengumuman hasil akhir beasiswa Stipendium Hungaricum, saya kembali mendapatkan email yang menyatakan bahwa saya lolos seleksi berkas beasiswa Turki Burslari atau YTB. Saya diharapkan segera melakukan konfirmasi untuk jadwal seleksi wawancara.
Saya dihadapkan pada situasi yang sulit karena pada dasarnya semua sama-sama bagus dan saya merasa tidak enak hati jika harus menolak salah satu diantaranya. Oleh karena itu, saya segera berkonsultasi pada orang tua. Mereka memberi pendapat untuk melanjutkan beasiswa Hongaria dengan alasan yang sudah pasti dan terlebih dahulu menerima saya.
Tapi, tidak ada salahnya bagi saya untuk ikut wawancara beasiswa YTB dengan alasan tidak meninggalkan jejak buruk dengan cara langsung menolak begitu saja tawaran yang diberikan, takutnya berakibat buruk terhadap institusi saya. Hari wawancara beasiswa YTB pun berjalan tanpa persiapan sama sekali karena saya tidak terlalu berharap diterima dengan alasan saya yang sudah mendapatkan beasiswa Hongaria. Setelah wawancara beasiswa Turki, saya tidak mendapatkan pengumuman secara langsung. Bahkan hasil akhir beasiswa Turki baru diterima ketika saya telah melakukan pendaftaran Visa dan sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk keberangkatan ke Hongaria.
Pengurusan visa di masa pandemi Covid-19 membuat saya merasa cemas, karena saat itu ada PPKM yang tidak tahu sampai kapan akan berakhir. Dengan nekat, saya menggunakan travel menuju kedutaan Hongaria yang ada di Jakarta. Ketika sampai di kedutaan, saya ditanya oleh staf kedutaan yang kebetulan orang Indonesia untuk menyerahkan berkas sesuai persyaratan.
Staf kedutaan waktu itu meminta agar saya juga menyerahkan surat keterangan bahwa saya adalah seorang dosen aktif dengan ditandatangani atasan dan menggunakan stempel basah. Ketika itu, saya tidak membawa dokumen tersebut, bahkan saya terancam gagal mendapatkan visa dan harus kembali lagi ke kedutaan untuk menyerahkan kekurangan dokumen.
Tapi atas kasih karunia Tuhan, staf kedutaan menerima dokumen surat rekomendasi dari atasan sebagai pengganti surat keterangan kerja. Alhasil, saya tidak perlu lagi datang ke Jakarta hanya untuk menyerahkan kekurangan dokumen. Waktu itu saya juga diwawancarai oleh staf kedutaan lain yang merupakan orang Hongaria, tetapi sangat lancar berbahasa Indonesia. Selama satu jam berada di kedutaan, urusan visa berhasil dituntaskan. Saya langsung pulang menuju rumah di Purwokerto yang juga menggunakan travel.
Hampir satu bulan saya tidak mendapatkan kabar mengenai status visa apakah diterima atau ditolak. Padahal teman-teman sesama penerima beasiswa yang jadwal wawancaranya setelah saya telah mendapatkan visa dan siap untuk berangkat. Oleh karena itu, saya sempat menanyakan pada kedutaan sebanyak tiga kali mengenai status visa dan jawaban mereka belum ada keputusan dari kantor imigrasi.
Tiga minggu setelah wawancara, saya baru mendapatkan kabar kalau aplikasi visa telah disetujui dan akan dikirimkan dalam waktu kurang lebih tiga hari. Setelah itu, saya langsung memesan tiket pesawat ke Hongaria untuk penerbangan akhir Agustus melalui traveloka.
Ternyata setelah visa tiba dan saya mengecek entry date tanggal yang tertera adalah awal September. Perasaan sedih dan cemas muncul yang berarti saya harus melakukan re-schedule yang kemungkinannya sangat kecil karena saya terlanjur memesan lewat traveloka yang pilihannya tidak ada re-schedule maupun refund tiket. Padahal untuk penerbangan tersebut saya telah mengeluarkan uang 6,5 juta rupiah.
Tapi Tuhan turut bekerja dalam hidup saya. Dengan susah payah akhirnya traveloka bersedia untuk merubah jadwal penerbangan sesuai entry date walaupun harus membayar biaya tambahan sebesar 500 ribu. Namun, itu lebih baik daripada saya harus membeli tiket baru seharga 6,5 juta rupiah.
Di saat saya mempersiapkan keberangkatan menuju Hongaria, saya mendapat email yang berisi bahwa saya dinyatakan diterima beasiswa YTB dan harus melakukan konfirmasi dalam jangka waktu satu bulan setelah pengumuman tersebut. Dengan proses perenungan panjang, saya tetap berangkat ke Hongaria tepat 4 September 2021 dari Jakarta dan tiba di Hongaria tanggal 5 September 2021, setelah dua jam transit di Bandara Istanbul, Turki.
Di Hongaria saya disambut meriah oleh teman-teman PPI yang telah menunggu dan menjemput di Bandara Budapest. Perasaan senang dan kagum muncul karena ini pertama kalinya saya dapat tinggal di Eropa dalam waktu yang cukup lama yaitu untuk empat tahun ke depan. Hari pertama di Hongaria, saya disibukkan dengan pengurusan dokumen seperti student certificate, student card, pembukaan rekening bank, residence permit, TAJ card (health insurance card), kartu anggota perpustakaan, dan kartu vaksin.
Di Hongaria segala pengurusan dokumen terlebih dahulu harus membuat appointment, jika tidak, maka tidak akan dilayani oleh petugas. Padahal karena banyaknya mahasiswa seringkali jadwal yang ada telah penuh dan harus menunggu hingga beberapa minggu termasuk yang terjadi ketika mengurus residence permit. Walaupun pengurusan dokumen masih sangat lambat seperti di Indonesia, tapi orang-orang di Hongaria relatif ramah, jujur, dan profesional.
Saya juga tidak lupa bertemu dengan profesor secara langsung dan bicara banyak mengenai proyek penelitian ke depan, bahkan profesor juga menunjukkan ruangan-ruangan yang ada di kampus. Saya mendapatkan ruang kerja yang cukup nyaman dan dikelilingi oleh orang-orang yang rajin dan sangat ramah. Mengenai beasiswa YTB, saya dengan terpaksa menolak tawaran tersebut tepat dua minggu setelah saya berada di Hongaria dan sehari menjelang batas konfirmasi kesediaan untuk menerima tawaran beasiswa tersebut. Apa yang telah saya alami, semua karena anugerah Tuhan termasuk dua beasiswa yang saya dapat walaupun harus memilih satu diantaranya.
Post a Comment for "Kisah Anjar Tri Laksono Mendapatkan Beasiswa S3 Stipendium Hungaricum"