Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Kak Asmi Mendapatkan Beasiswa Stipendium Hungaricum di Hungaria


 Belajar, Belajar, dan Terus Belajar

Oprah Winfrey menyebutkan bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka dunia, paspor menuju kebebasan. Terlahir dari keluarga yang sangat mencintai pendidikan, membuat saya memilih bidang yang sama. Ibu saya adalah seorang tenaga pendidik, sedangkan Ayah saya adalah seorang ABRI-AD. Saudara-saudara saya juga mengikuti jejak ibu sebagai seorang pengajar, lalu beralih menuju kantor pemerintahan.

Nama saya Asmi Rusmanayanti, seorang dosen pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Lambung Mangkurat. Saya mencintai dunia pendidikan sedari kecil dan belajar sebanyak yang saya mampu. Semakin saya banyak membaca, semakin banyak saya berpikir. Semakin banyak saya belajar, ternyata semakin banyak yang tidak saya tahu. The more I learn, the more I know nothing.


Saya lahir dan di besarkan di Banjarmasin. Saat saya menempuh pendidikan S1 di Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Keguruan Ilmu dan Pendidikan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Pada saat akhir- akhir semester sayakuliah, saya juga bekerja sebagai guru privat, hingga berlanjut menjadi guru honorer. Setelah itu, ada penerimaan pegawai honorer di Pemkot Banjarmasin. Kemudian, saya beralih menjadi seorang dosen pendidikan Bahasa Inggris, di tempat saya menimba ilmu, Universitas Lambung Mangkurat.

Selesai S1, saya tetap bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Saya mencoba mencari beasiswa ke luar negeri melalui internet. Akhirnya, saya putuskan Belanda sebagai tempat menimba ilmu. Saya penuhi segala berkas administrasi beasiswa yang diminta. Tak butuh waktu lama, saya menerima pemberitahuan bahwa berkas saya lolos administrasi. Langkah selanjutnya adalah wawancara. Saat itu, wawancara dilakukan di kota Banjarmasin. Ada banyak kandidat yang sampai pada tahap wawancara pada saat itu, namun, Allah SWT lagi-lagi menunjukkan kuasa-Nya. 

Dari sekian banyak kandidat, saya menjadi satu-satunya peserta yang lulus seleksi dari kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada saat itu dan diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan TOEFL selama tiga bulan di Jakarta pada tahun tersebut.

Pada saat itu, nilai TOEFL yang harus diperoleh minimal 550. Sembari kursus, saya mencari universitas di Belanda yang akan saya tuju. Setelah memilih beberapa universitas, saya mendapat tawaran di Leiden dan Groningen. Saya memutuskan untuk melanjutkan S2 di Groningen University, Netherland. Educational Effectiveness and Instructional Design menjadi pilihan saya.

Kuliah di negeri kincir angin Belanda adalah anugerah tak terhingga. Memiliki banyak teman yang berasal dari berbagai negara, bisa bepergian ke kota yang sebelumnya hanya ada dalam mimpi— Paris, Milan, Venice, Roma—dan masih banyak lainnya.

Di Belanda, saya tinggal bersama delapan mahasiswa Indonesia lainnya di International Boarding House (yang tentu saja juga ada banyak mahasiswa dari negara lain di Boarding House ini). Biasanya fasilitas di Dormitory (Boarding House) sudah lengkap, ada common room yaitu ruang yang digunakan untuk bersama-sama misalnya dapur, ruang peralatan olah raga, kamar mandi, toilet, mesin cuci dan pengering, dan lainnya. Nah, kadang di sini serunya kalo tinggal di Dormitory (Boarding House), harus memiliki rasa besar untuk pengertiannya dan jangan kaget akan hal-hal yang berbeda dari tempat kita. Cross cultural understanding dan juga supaya tidak ‘gegar budaya’ atau culture shock.

Banyak hal yang di dapat baik secara keilmuan ataupun pengalaman di luar kampus yang penuh warna warni keceriaan dan keharuan. Bergabung dengan Persatuan Pelajar Indonesia Groningen (PPIG) merupakan hal yang penting bagi para pelajar Indonesia. PPI ada di setiap negara, dan ini merupakan wadah yang sangat unik dan merupakan rumah kesekian bagi para pelajar Indonesia karena kebanyakan informasi penting disebarkan oleh para pengurus serta yang menautkan dengan berbagai kegiatan di KBRI di negara mana kita berada. Selain itu, homesick biasanya akan terobati karena banyak yang saling berbagi apalagi yang rindu makanan Indonesia. The more you see, the more you understand, the more open you will be and be more respectful in many things in this world.

Setelah berhasil menuntaskan S2, saya kembali ke kampung halaman. Berjibaku sebagai seorang dosen dengan aktivitas yang selalu padat merupakan hal yang biasa jadinya. Apakah saya berpuas diri setelah berhasil menyelesaikan pendidikan S2 di Belanda? Tentu, tidak! No, no, no. I remember one of the wise quotes that I have heard before, ‘the sky is your limit’. Teruslah berusaha dan lakukan yang terbaik yang kita bisa untuk terus bertumbuh dan bermanfaat bagi lebih banyak orang lagi.

Saya kembali mencoba beberapa lamaran beasiswa S3. Mulai dari LPDP, Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI), hingga beasiswa BPP-LN DIKTI. Saya berhasil tembus sampai tahap interview. Supervisor juga berhasil saya dapatkan, yakni dari Belgia dan Groningen. Namun, perjalanan itu harus terhenti dikarenakan kondisi keuangan negara yang saat itu belum stabil sehingga banyak jumlah quota yang dikurangi dari tahun sebelumnya.

Suatu hari, saya mendapat surat edaran tentang beasiswa Stipendium Hungaricum dan juga informasi dari teman saya. Saya mencoba mencari dua universitas yang berada di bawah naungan beasiswa tersebut. Terpilihlah Budapest dan Szeget. Kalau gagal di Budapest, saya masih ada pilihan di Szeget. Itulah alasan saya memilih dua universitas tersebut. Ternyata, Allah SWT Maha Baik. Saya lulus di kedua kampus itu. Akhirnya, saya memutuskan untuk memilih Budapest, yakni Eötvös Loránd University, ELTE Faculty of Humanities, Language Pedagogy and Applied Linguistics.

Selamat datang di Budapest

Budapest adalah ibu kota Hongaria. Sebuah kota yang sangat rapi, memiliki sistem bagus, sekaligus arsitektur menarik. Ada banyak rasa kagum dari saya untuk kota ini. Belajar di negara yang disebut sebagai Parisnya Eropa Tengah dan Timur adalah mimpi yang akhirnya berhasil saya genggam.

Dibanding Jakarta apalagi di Kalimantan, jalanan Budapest tidaklah terlalu besar. Namun, masyarakat di sini sangatlah tertib. Transportasi beroperasi dengan maksimal dan saling terkoneksi dengan baik. Adanya Metro (kereta bawah tanah), Tram (kereta), Bus (warna biru kalau di Budapest), dan Trolley (Bus warna merah khusus bertenaga listrik) Di sini, saya juga sering menggunakan kereta api bawah tanah. Keberangkatan kereta sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Transportasi ini khusus berhenti di tempat pemberhentian besar. Selain kereta api bawah tanah, ada juga trem yang khusus melintasi tengah kota, hingga jalan kecil. Bahkan, orang-orang lebih suka menggunakan transporasi umum dibanding pribadi. Macet hanya dijumpai saat weekend tiba, sebab banyak orang menggunakan mobil pribadi untuk berwisata.

Budapest memiliki arsitektur yang sangat unik. Bangunannya tidak terlalu tinggi, harus sesuai standar yang berlaku. Meski demikian, bangunan selalu memiliki ruang bawah tanah. Penghuni bangunan tidak boleh melakukan renovasi sesuka hati, kecuali isi di dalamnya, seperti mengubah warna cat, dan lain-lain. Tipe bangunan di kota ini hampir mirip dengan di Belanda, Vienna, Paris dan negara lainnya di Eropa. Satu gedung besar flat, bisa ditempati hingga puluhan orang di dalamnya.

Masalahnya adalah harga sewa sebuah flat di Budapest, lumayan mahal dibandingkan dengan harga sewa flat di luar kota Budapest. Setiap flat memiliki fasilitas dan ketentuannya masing- masing. Misal, tidak boleh membawa anak, hewan peliharaan, dan lainnya. Jadi, kita sebagai orang yang ingin tinggal di flat, harus benar-benar mencari flat yang sesuai dengan keinginan, apakah mau yang all-in (all included the prices of electric, internet, etc = udah masuk listrik, air, gas, dll).

Belajar di Budapest sangatlah nyaman. Lelah belajar di kampus atau secara online di flat, saya bisa santai sejenak di taman yang tersedia tak jauh dari tempat tinggal. Budapest adalah kota yang memiliki banyak taman. Taman dikelola dengan rapi dan terawat. Ada banyak orang bersantai di taman. Ada yang datang sendiri, bersama keluarga, kekasih, atau sahabat. Selain itu, karena sistem transportasi begitu bagus, maka hal ini sangat membantu kita dalam mengambil pilihan alat transportasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan, dan bisa langsung memperkirakan kapan tiba di lokasi tujuan.

Di sini, keamanan lumayan terjamin. Masyarakat sangat takut dan segan pada pihak berwenang. Selain itu, CCTV bisa ditemukan di mana-mana. Oleh sebab itu, tak perlu risau jikalau kita masih berada diperjalanan meskipun hari sudah malam. Perbedaan waktu setiap musim menjadi penentu cepatnya hari berubah malam atau panjangnya siang hari kala musim panas tiba.

 

Jatuh Sakit di Negeri Orang

Sakit adalah salah satu hal yang kemunculannya tidak kita inginkan. Saya sudah berusaha menjaga tubuh agar selalu fit. Sayangnya, sakit harus tetap saya rasakan. Alhamdulillah, ada asuransi yang merupakan bagian dari beasiswa Stipendium Hungaricum. Asuransi ini pun segera saya aktifkan, dan hal ini penting bagi teman-teman lainnya yang baru datang ke Hungary. Asuransi harus selalu di aktifkan setiap semester. Don’t forget it!

Setelah itu, saya menghubungi pihak rumah sakit untuk diberi jadwal berobat. Setelah menerima jadwal, saya bisa bertemu dengan dokter. Di kota ini, obat-obatan resep dokter sebenarnya murah, yang mahal itu biaya konsultasi dengan sang dokter. Di sini biasanya kita tidak langsung berangkat menuju rumah sakit, namun harus menemui dokter rujukan terlebih dahulu. Kecuali, sakitnya sudah sangat parah atau butuh untuk segera dioperasi, maka harus segera menuju rumah sakit.

Penyakit yang kita miliki, diperiksa secara detail. Awalnya, saya diprediksi mengalami anemia akut. Alhasil, saya harus dirujuk ke laboratorium. Ternyata, hemoblogin saya rendah. Hanya 3,5 padahal normalnya 12. Segera saya beri tahu hasil ini kepada dokter yang menangani saya. Beliau menyuruh saya untuk langsung menemuinya. Kalau di Indonesia kita harus menggunakan kendaraan pribadi atau umum, maka di sini, ambulans akan siap sedia menjemput pasien.

Di Budapest, data pasien ter-link di semua rumah sakit. Mereka memiliki format laporan pasien yang sama. Rumah sakit juga saling bekerja sama untuk membantu para pasien secara maksimal. Misal, saat stok darah di rumah sakit A kosong, maka tinggal membuka data ketersediaan darah yang dibutuhkan di rumah sakit lain. Ini pengalaman pribadi saya waktu itu, karena Hb sudah kritis 3.5 (normalnya 12-14), maka dokter langsung segera menyarankan untuk transfusi darah.

Setelah mengetahui bahwa golongan darah saya adalah A Rhesus Positif, sedangkan pada saat itu Rumah Sakit S yang pertama stok darah yang banyak adalah A Rhesus Negative. Maka, saya segera ditransfer ke Rumah Sakit P karena dari data stok darah di Rumah Sakit P, ada cukup banyak stok darah A Rhesus +. Saya diminta menunggu sebentar. Lalu, ambulans dengan siap siaga mengantarkan saya ke rumah sakit yang dituju.

 

Di sini, dokter dan perawat bekerja sangat telaten. Tidak ada waktu yang terbuang dengan sia-sia. Semua memiliki dan paham akan job list masing-masing. Ketika pasien memiliki beberapa jenis penyakit, maka ia akan bertemu dengan dokter masing-masing yang menangani penyakitnya. Dokter yang satu dengan lainnya akan selalu berkomunikasi terkait penyakit si pasien. Jadi, pasien benar- benar ditangani dengan maksimal.

Saat saya sakit di masa Covid-19, pasien tidak boleh ditemani oleh siapapun. Saya pikir, saya akan kesepian.

“Sudah sakit, sendirian pula”, onde mande, merana nian awak ni rasanyo... haha.

Ternyata, pemikiran saya salah. Dokter dan perawat melakukan pemantauan dan penjagaan terus-menerus. Ada tiga kali pergantian shift setiap harinya. Proses pergantian shif ini begitu menarik hati saya. Perawat yang kebetulan mendapat shif jaga malam, sebelum pergantian shift pada keesokan harinya, perawat shif pagi akan datang lebih awal.

Saya ingat bagaimana salah seorang perawat yang menyampaikan laporannya secara lisan dengan perawat selanjutnya sambil memberikan informasi kondisi terakhir dari pasien tersebut. Begitu detail. Misalnya obat yang diberi, suhu terakhir, hal yang harus diperhatikan secara khusus, dll. Sehingga misinformation tidak akan terjadi walaupun perawat yang menjaga berbeda, sebab semua terdata dan diinformasikan secara detail oleh perawat ataupun dokter sebelumnya. Hal ini penting, karena dokter selanjutnya bisa meneruskan tindakan apa yang harus dilakukan pada pasien yang kini di bawah pengawasan mereka.

Suatu hari, saya mendapati dua orang pasien di dalam satu kamar. Kamar itu memiliki lima kasur, namun hanya ada tiga yang terisi. Yang satu, pasien berusia 102 tahun, sedang yang satunya lagi berusia 85 tahun. Pasien berusia 85 tahun baru saja menyelesaikan operasi. Sayang, kesehatannya belum juga membaik. Keluarganya segera diberi tahu hal ini. Tak lama kemudian, pasien tersebut mengembuskan napas terakhirnya. Proses meninggalnya pasien ditangani pihak rumah sakit dengan baik dan cekatan. Bekas ranjang pasien disikat, disabun, dan dilakukan disinfektan. Kasur yang lama langsung diganti yang baru. Proses ini seperti kedipan mata saking cepatnya.

 

Bunyi ambulans adalah suara yang selalu saya dengar setiap harinya di sini. Hal ini karena kebanyakan pasien yang dirujuk ke rumah sakit, segera dijemput oleh ambulans. Sehingga tidak terlalu menyulitkan bagi pasien menggunakan alat transportasi umum. Design dan interior ambulance telah memenuhi standar Eropa. Berbagai alat tersedia di dalamnya, bahkan untuk kasus darurat sekali pun.

Di rumah sakit ini, saya juga bisa request makanan.

“Jangan harap ada nasi kuning, ya! Apalagi minta lontong sayur plus kerupuk! Haha!”

Biasanya pasien diberikan tiga kali makanan setiap harinya. Breakfast roti, keju, teh atau kopi dan yogurt. Untuk makan siang boleh memilih beberapa pilihan lauk yang tersedia. Porsi makan siangnya berhasil membuat perut penuh saking banyaknya! Nah untuk menu makan malam, kurang lebih seperti menu breakfast. Cuma sesekali ada penambahan buah.

Meski saya sudah keluar dari rumah sakit, masih harus rutin melakukan kontrol. Kontrol di sini harus menggunakan surat menggunakan bahasa mereka, Magyar (dibaca: mojor). Beruntunglah dokter di sini bisa berbahasa Inggris, sehingga saya masih bisa mengerti dengan baik apa yang disampaikan dokter. Saya tidak perlu mengeluarkan biaya, karena sudah ditanggung oleh asuransi. Alhamdulillah, puji syukur tak terhingga kepada Sang Pencipta.

Di kota ini, orang-orang bekerja sesuai jam kerja. Tidak ada yang namanya ngaret. Kalau kita telat beberapa menit saja, pasti menimbulkan kesan buruk dari mereka.

“Pastikan memberi info pada mereka bila Anda telat, karena mereka mungkin bisa mengerjakan suatu kegiatan dulu sebelum Anda datang.”

Siapa yang tidak jatuh cinta dengan Budapest karena sistemnya yang bagus dan tertata? So, come here please, this place is marvelous!

Covid-19 di Budapest

Saat pandemi Covid-19 menyerang, pemerintah langsung bergerak cepat. Protokol kesehatan diberlakukan. Ada ketentuan penggunaan masker apa yang harus digunakan. Pemberlakukan vaksin bagi masyarakat, sekaligus jam malam yang harus ditaati. Bersyukurlah sekarang pandemi Covid-19 tidak semengerikan dulu lagi. Proses belajar yang awalnya lebih banyak secara daring, sudah bisa dilakukan secara tatap muka.

Selama saya di sini, saya melihat bagaimana pemerintah sangat serius menangani kasus ini. Saya ingat bagaimana cepatnya perubahan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam menangani kasus covid namun sangat terkordinir dan semua aparat yang terlibat dan masyarakat saling membantu dan berusaha untuk menaati dengan baik; pemberlakuan lock-down (di mana orang yang ingin keluar rumah mesti memiliki izin terlebih dulu, lalu adanya jam khusus untuk belanja ke toko dengan memprioritaskan para manula, mulai dari jam 08.00, 09.00, atau 10.00 pagi. Setelah itu, barulah orang yang di bawah umur manula bisa berbelanja.

Kemudian adanya wajib masker khususnya di semua ruangan, kantor dan transportasi umum. Begitu juga dengan pemberlakuan jam malam. Sampai akhirnya pemerintah mengumumkan bahwa masyarakat di Hongaria lebih dari 55% telah melakukan vaksinasi. Lalu, pelonggaran diberikan kepada masyarakat dengan tidak adanya lagi jam malam, bebas masker, dan sekolah dibuka kembali secara face-to-face yang tentu saja terus memperhatikan kesehatan dan pencegahan corona. Walaupun sudah bebas masker, namun di lingkungan rumah sakit dan kantor tertentu tetap diminta untuk menggunakannya.

Mungkin hal ini membuat teman-teman di Indonesia agak sedikit heran dan bertanya kenapa kami di sini tak lagi memakai masker. Hal itu dikarenakan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Program vaksinasi dilakukan untuk meminimalisir dampak covid, langsung dimengerti dan diikuti oleh masyarakat. Selain itu, karena sistem di negara Eropa saling bersinergi, maka pemerintah Hongaria memvaksin siapapun yang ada di negaranya tanpa mengenakan pungutan sedikitpun walaupun bukan warga negara Hongaria.

Menjadi Minoritas di Tengah Mayoritas

Menjadi muslim atau muslimah bukanlah hal mengerikan di kota ini. Mereka tidak akan terganggu dengan atribut kemusliman kita, seperti jilbab, dan lainnya. Tingkat toleransi termasuk tinggi khususnya di Budapest. Makanan halal bisa ditemukan dengan mudah. Ada banyak Toko Turki dan Toko Kasmir India yang menyediakan berbagai jenis makanan halal. Ayam, daging, hati, yang sudah dibumbu siap masak, bumbu dasar, dan masih banyak lainnya ada di sini. Apabila ingin makan ke restauran halal, ingat ya, satu porsi makanan di sini ueakehh tenan alias buanyak porsi jumbo hihi.

Terkadang, saya rindu masakan kampung halaman. Begitu juga pada tahu dan tempe, yang disebut sebagai makanan mewah di sini. Perbiji tempe bisa mencapai tiga puluh lima ribu, sedangkan sebiji tahu dibanderol lima puluh ribu. Wadaoooooo hahaha!

Ada delapan atau sembilan masjid di kota Budapest. Saya biasanya beribadah di Masjid Al-Huda. Kata temen karena saya sendiri masih belum ke semua masjidnya. Alhasil, saya kurang tahu info mengenai masjid lainnya. Hihi.

Di sana, bisa ditemukan pendatang yang berasal dari Tunisia, Maroko, India, Afghanistan, Palestina, Syria, Uzbekistan, Afrika dan negara lainnya. Ketika ibadah salat Jum’at dilakukan, para perempuan juga bisa turut serta. Ada ruangan khusus yang tersedia untuk perempuan yang ingin ikut serta beribadah salat Jum’at. Khutbah disampaikan dalam dua Bahasa; dengan Bahasa Arab, kemudian diterjemahkan menggunakan Bahasa Inggris. Yang ingin ikut serta halaqah baca Al-Qur’an khususnya untuk laki-laki, bisa diikuti di Masjid Al-Huda dan Budapest Mosque. Biasanya dilakukan setiap selesai salat magrib.

Muslim dan muslimah di sini sangatlah gemar bersedekah. Di masjid, ada banyak makanan dan minuman yang tersedia, sedekah para jama’ah masjid. Asyiknya, kita bisa memilih sesuai keinginan. Kadang selesai salat Jum’at, ada yang menyediakan kue baklava dengan rasa manisnya yang khas, disertai minuman botol mineral. Oh iya, perlu diketahui bahwa ada dua macam minuman mineral di sini. Yang bersoda (botol atau tutupnya berwarna biru), dan tanpa soda (botol dan tutupnya berwarna pink).

Yang tidak terbiasa minum air putih bersoda, pasti kurang bisa menikmati. Seperti saya. Meski demikian, banyak juga yang suka jenis minuman mineral ini. Saya sendiri lebih memilih minuman mineral tanpa soda. By the way, air keran atau tab water bisa diminum secara langsung. InsyaAllah aman bagi perut para pelajar Indonesia. Hihi. Menurut orang Indonesia, makanan di sini tidak terlalu pedas. Padahal, masyarakat asli menyebutkan betapa pedasnya paprika.

“Bayangkan kalau mereka dapet lombok rawit atau cabe keriting! Wadaooo… air… air … air!” Bakalan kepedasan tingkat tinggi!

Perbedaan jam salat di Budapest, khususnya Eropa, tidak sama dengan negara lain. Jadwal salat akan berubah sesuai musim. Bisa maju atau mundur. Misal, bulan Juni kemarin. Salat Subuh pukul 02:31, sedangkan Isya pukul 23:00. Bisa dibayangkan betapa sedikitnya jarak untuk melakukan kedua ibadah tersebut. Begitu juga saat melakukan ibadah puasa. Bila puasa bertepatan dengan summer, waktu siang lebih panjang. Itu artinya, waktu puasa yang dilaksanakan juga jauh lebih panjang.

Perbedaan bukan untuk ditakuti. Selalu ada hikmah yang bisa dipelajari di dalamnya. Saya bangga bisa menuntut ilmu di negeri ini. Negeri yang memiliki sejuta pesona. Membuat saya selalu jatuh cinta setiap harinya.

The sky is your limit. Never give up on your way and dreams. Come to Hungary. We will wait for you here to join us. 


Post a Comment for "Kisah Kak Asmi Mendapatkan Beasiswa Stipendium Hungaricum di Hungaria"